Oleh: Andriys Ariesson H P*
Adanya rencana pemerintah untuk membuat Badan Hukum Pendidikan atau yang lebih dikenal dengan BHP telah menuai reaksi cukup keras dari masyarakat. Pelik permasalahan mulai dari prinsip-pripsip usaha, independensi, bentuk dan fungsi kelembagaan, dan yang paling menonjol, akses komersialisasi, kerap ditakutkan akan menjadikan pendidikan bangsa ini semakin terpuruk. Di sisi lain, adanya BHP ini dimaksudkan oleh pemerintah akan bisa meningkatkan kualitas, kredibilitas, efisiensi dan profesionalisme pendidikan kita seiring dengan otonomi yang diberikan kepada pihak penyelenggara atau satuan pendidikan. Apakah BHP ini memenag benar-benar bisa memajukan pendidikan bangsa ini, ataukah malah sebaliknya?
Khususnya perguruan tinggi, konsep otonomi ini sebenarnya sudah berjalan kurang lebih enam tahun seiring dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Pemikiran akan perlunya otonomi inilah yang melahirkan RUU BHP, yang saat ini masih menunggu untuk disahkan, sebagai konsekuensi diberlakukannya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisitem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), karena Pasal 53 mengamanatkan dibentuknya badan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan.
Suasana kemandirian dan otonomi dalam pendidikan secara sekilas memang berpotensi besar untuk bisa menciptakan pendidikan dengan kulaitas, kredibilitas, efisiensi, dan profesionalisme yang bagus. Pihak penyelenggara pendidikan bisa bebas sesuai dengan kreativitasnya untuk memajukan pendidikan yang dijalankan berdasarkan pemetaan dan srategi yang telah dirancang. Penyelenggara pendidikan pun tidak perlu terhambat akan adanya jeratan birokrasi yang berbelit-belit seperti yang terjadi selama ini. Namun, adanya konsep otonomi, secara makro, mengesankan upaya terselubung pemerintah untuk menghindarkan tanggung jawab penyisihan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar 20 persen bagi pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi. Masalahnya adalah kemandirian institusi pendidikan yang dibuat pemerintah juga sampai pada adanya kemandirian dari segi pendanaan. Walhasil, institusi pendidikan bersangkutan haruslah pandai-pandai memutar otak untuk bisa membiayai jalannya aktivitas pendidikan secara independen
Konsep Badan Hukum Pendidikan (BHP) ini secara mudah mungkin bisa diindentikkan dengan sebuah korporasi dalam dunia bisnis, yang akan menyebakan akses terjadinya komersialisasi pelayanan pendidikan akan sulit dihindari. Konsentrasi institusi pendidikan akan terpecah kepada pemikiran dan kegiatan “bisnis,” yang otomatis akan bisa merubah nuansa akademik yang ada pada institusi bersangkutan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Konsep akademis dan bisnis akan menjadi dua sahabat baru yang selalu bergandengan tangan kemanapun mereka pergi. Padahal, secara falsafah ada sisi dimana dunia pendidikan harus terpisah dari dunia bisnis. Pendidikan yang secara sistemik dan kontinyu selain bertujuan untuk mencetak pribadi-pribadi yang mempunyai ”competence” dan ”skill” yang tangguh terhadap suatu disiplin ilmu, pendidikan juga bertujuan mencetak pribadi-pribadi yang bertaqwa, berkepribadian handal, dan memeiliki moral dan akhlak yang baik. Sisi inilah yang mesti diperhatikan dengan seksama, terutama jika dikaitkan dengan dunia bisnis yang identik dengan dunia kepentingan. Hal lain lagi yang ditakutkan adalah jika ”bisnis” ini berkembang dengan pesat, bisa jadi perguruan tinggi atau institusi pendidikan akan menjadi ”pesaing baru” masyarakat menjadi pelaku usaha bisnis.
Kemudian, permasalahan lain yang perlu dicermati adalah apakah pihak penyelenggara pendidikan dengan menjalankan ”usaha bisnisnya,” benar-benar bisa menghidupi semua aktivitas universitas yang begitu banyak. Mungkin bagi institusi yang punya manajemen yang sangat bagus, dan benar-benar berhasil, perkara ini tidak menjadi masalah, namun bagaimana dengan institusi yang ”usaha bisnisnya” tidak berjalan dengan baik, atau hanya dengan mengandalkan”usaha bisnis” saja tidak mencukupi? Di kebanyakan negara, University Coorperation sebagai koperasi yang biasa melakukan usaha bisnis di lingkungan universitas memang memegang peran dalam menghidupi akivitas universitas, namun sedikit sekali atau bahkan tidak ada perguruan tinggi negeri di negara maju yang menggantungkan sumber dana untuk menghidupkan aktivitasnya hanya dari usaha bisnis semata. As a consequence, yang ada adalah uang masuk dan uang sumbangan pendidikan yang tinggi yang harus dipikul seorang mahasiswa yang ingin masuk, biaya tinggi pengelolaan operasional, dan penerimaan mahasiswa jalur "patas" yang seolah berarah pada komersialisasi berlebihan. Fakta sekarang pun membuktikan bahwa meskipun pemerintah telah memberikan subsidi sekitar 40% untuk perguruan tinggi, biaya pendidikan tinggi masih terasa mahal dan berat bagi beberapa kalangan mahasiswa. Lalu apa jadinya jika subsidi itu tidak ada dan pihak perguruan tinggi kurang mendapat pemasukan? Oleh karena itu, tambahan biaya baik dari masayarakat atau mahasiswa sendiri bisa menjadi alternatif bagi perguruan tinggi untuk bertahan, minimal untuk mempertahankan mutunya agar tidak sampai jatuh.
Permasalahan ini memang cukup dilematis, maka dari itu sekiranya tidak salah jikalau penulis bertutur dalam tulisan yang sangat singkat ini bahwa BHP adalah sebuah solusi yang dilematis untuk kemajuan pendidikan kita. Jika kita memakai kacamata mahasiswa, tentu kita ingin agar pendidikan kita murah atau bahkan gratis di satu sisi dan kualitas bagus di sisi lain, tapi kalau tujuannya adalah peningkatan profesionalisme pendidikan sementara biaya mahal bagaimana? Siapa yang disalahkan? Jika kita memakai kacamata perguruan tinggi, peningkatan profesionalisme pendidikan adalah tujuannya, tetapi jika pemerintah lepas tangan bagaimana? Siapa yang disalahkan? Jika pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa ketika ini adalah ”pesanan” ”penolong” kita yakni World Bank dan International Monetary Fund bagaimana? Hal ini sebagaimana yang dikatakan H.A.R Tilaar bahwa sebenarnya BHP tak lebih sebagai bagian representasi neo liberalisme dalam dunia pendidikan. World Bank dan International Monetary Fund dituding berada di balik rencana ini. "Ini jelas agenda neo liberalisme, pemerintah terlihat ingin cuci tangan dari tanggung jawabnya pada pembiayaan pendidikan," ujar H.A.R Tilaar. Terus kalau ini yang memang harus terjadi, siapa yang harus menanggung beban berat ini? Atau mungkin yang menjadi pertanyaan wajib orang-orang Indonesia, siapa yang harus disalahkan? Bank dunia, Presiden, Menteri, Rektor, mahasiswa yang malas, kita sendiri, atau?
*) Presiden BEM UM Periode 2006. Saat ini menempuh kuliah di jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Malang (UM).
Form Pendaftaran Anggota Gema Pembebasan
Ini adalah form pendaftaran secara online. Isilah form ini, jika Anda ingin jadi anggota Gema Pembebasan di Universitas Negeri Malang (UM). Bergabunglah bersama kami, wahai mahasiswa UM. Bersama kita tingkatkan kualitas dan kuantitas insan muslim yang sebenarnya.
Yahoo! News: World News
Media Indonesia
Voice of New Generation
Syariah
Wednesday, March 21, 2007
BHP, Solusi Dilematis Kemajuan Pendidikan Kita
Label:
Pendidikan dan Mahasiswa
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Selamat atas situs barunya!
Post a Comment