Oleh : Erwin Supriatna*
Politik dalam paradigma mahasiswa sudah tidak asing lagi. Bahkan politik telah menjadi mind set dan flatform perjuangan mahasiswa. Lebih ekstrim, politik telah menjadi tujuan yang tidak bisa diganggu gugat lagi. Maka tidaklah heran bila muncul istilah “politik mahasiswa”. Walaupun memang tak dapat dinafikan bahwa sebagian mahasiswa menganggap politik sesuatu yang di luar koridor kemahasiswaan. Anggapan inilah sesungguhnya yang menjadikan mahasiswa –sebagai elit pemuda- tampak terlihat buram, karena terpuruk dalam menghadapi buasnya keadaan. Globalisasi sebagai fenomenologi telah menjadi paradigma baru di benak mahasiswa. Mereka lebih terjebak dalam “urusannya” sendiri.
Namun tulisan ini ingin lebih membedah arah gerak mahasiswa yang telah berkiprah dalam ranah politik, yang terhanyut dalam arus gerakan mahasiswa yang semakin menggejala dalam melakukan perubahan.
Sebuah Analisis
Agar lebih argumentatif, maka penulis mencoba untuk meninjaunya dari tiga sudut pandang; historis, empirik, dan normatif. Pertama, dalam ranah historis. Sesungguhnya akan kita dapati bahwa arah gerak mahasiswa hanya menampilkan peninggalan monumen yang tidak terlalu berarti. Tahun 1908, 1928,1945, 1966, 1974, 1998, adalah contoh catatan kecil yang menorehkan peran dan posisi mahasiswa di dalamnya. Dapat dipahami bahwa gerakan politik mahasiswa terbelenggu dengan slogan, serta simbol-simbol yang menggoreskan ketidak-artiannya dari apa yang telah dilakukan mahasiswa.
Perubahan adalah sesuatu yang sebenarnya normal dan suatu keniscayaan dalam gerak roda sejarah. Tidak ada suatupun yang tetap di dunia ini yang tetap hanyalah perubahan itu sendiri. Filsuf Yunani kuno Heraclitus, mengungkapkan semua makhluk senantiasa mengalir, terus menerus berubah, terus menerus tercipta dan lenyap.
Namun, kadangkala mahasiswa memandang perubahan dalam pentas politik sebagai suatu hal yang harus dihindari. Mengapa? Mitos mencoba menjelaskan bahwa perubahan merupakan penyimpangan dari keteraturan, dan kebiasaan. Sehingga perubahan akan merusak tatanan yang sudah ada. Mitos lain beranggapan bahwa ada keadaan traumatis yang akan muncul ketika terjadi perubahan. Sikap-sikap destruktif yang kadang kala mengikuti perubahan terutama bagi penerima perubahan (HR. Lauer, 1993). Sehingga perubahan adalah sesuatu hal yang negatif.
Dalam sejarah panjang mahasiswa di negeri ini terlihat dengan jelas bahwa ada paradigma baru tentang politik dan perubahan yang menjadi simpang siur dan mempunyai makna ambigu. Semua itu tidak dapat dilepaskan dari mitos di atas yang cukup berkembang di benak para “politisi mahasiswa”. Padahal paradigma politik dan perubahan akan sangat tergambar ketika dipahami bahwa realitas sosial -social reality- bukan hanya untuk dipahami tetapi juga untuk dikendalikan. Termasuk kepedulian mahasiswa terhadap realitas struktural -structural reality- dan kultural masyarakat -cultural reality-.
Hal ini bisa jadi merupakan ukuran over estimate terhadap kiprah mahasiswa dalam pentas politik. Kebanggaan filosofis mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change), kontrol sosial (social control), kekuatan moral (moral force), cadangan potensial (iron stock), dan ukuran-ukuran romantisme lain, semakin membuktikan ketidakjelasan arah gerak mahasiswa. Alasannya karena slogan romantis tersebut tidak pernah menemui realitasnya secara benar!
Maka dari sini patutlah dipertanyakan, sebenarnya ada apa dengan gerakan mahasiswa? Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mempertegas kembali muatan filosofis politik mahasiswa. Hal ini dapat dibuktikan, pemuda seperti Einstein berusia 26 tahun ketika menemukan teori relativitas, sama halnya dengan Karl Marx yang mulai produktif membuat tulisan yang sangat Ideologis sebelum berusia 30 tahun (RH. Lauer, 1993). So, dimanakah peran mahasiswa sebagai bagian dari intelektual muda di abad sekarang ini?
Kedua, dalam tinjauan Empirik. Saat ini kita dihadapkan pada perkembangan budaya modern yang demikian cepat. Perubahan sosial yang terjadi dipicu oleh kemajuan instrumen ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), terutama pada teknologi imformasi, komunikasi, dan transportasi. Saat ini kita pun dihadapkan pada perkembangan ketegangan kehidupan berpolitik yang membuat wajah perpolitikan negeri ini semakin memanas. Dalam skala global, ini bisa kita namakan sebagai gejala over heating yang menimpa peradaban. Tetapi sangat membanggakan, ketika mahasiswa memilih untuk berada pada garda publik yang dinamis.
Telah marak pergerakan mahasiswa pada era reformasi ini. Walaupun tidak dapat dipungkiri gerakan tersebut masih terkotak-kotak menurut baju mereka masing-masing. Ada menggunakan lembaga formal mahasiswa seperti Senat Mahasiswa (SEMA) atau Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), adapula yang memakai lembaga formal ekstra seperti HMI, IMM, GMNI, KAMMI, Gema Pembebasan, dan sejenisnya. Namun ternyata muncul pula gerakan mahasiswa yang tidak mengatasnamakan lembaga formal tertentu. Setidaknya ada dua pandangan mahasiswa terhadap peranannya dalam pentas politik, yaitu: (1) mengikuti arus besar yang ada (2) menunjukan idealisme mahasiswa yang berbeda.
Pilihan pertama nampaknya selalu menjebak –kalau tidak dikatakan pilihan- aktivis gerakan mahasiswa. Namun benarkah pilihan pertama merupakan pilihan alternatif, atau pilihan kedua yang biasanya lolos dari pilihan? Charles Darwin mengatakan “it is strongest of the species that survive, not the most intelligent, but the ones most responsive to change”. Hanya saja hipotesis Darwin tersebut ditujukan kepada makhluk bernama hewan dan memang itu terbukti. Maka sangat prihatin ketika pilihan pertama menjadi pilihan mahasiswa sebagai elit pemuda dewasa ini.
Gerakan mahasiswa yang pada awalnya berkomitmen untuk menunjukan idealismenya dalam pentas politik, seringkali menjadi pragmatis dan terjebak dengan keadaan karena kekaburan metode dan juga jiwa perjuangan mahasiswa yang hanya bermuara pada kepentingan sesaat. Sejatinya, revisi dan reposisi gerakan mahasiswa akan sangat menentukan potret negeri ini ke depan, bahkan potret peradaban.
Ketiga, secara Normatif. Banyak harapan masyarakat yang bertumpu pada mahasiswa. Dengan melihat harapan tersebut dan potensi yang dimilikinya, mahasiswa sebagai agent of change bukanlah sesuatu yang utopis. Mahasiswa adalah manusia dan potensi tiap manusia adalah sama. Hanya posisi dan peran saja yang kebetulan berbeda. Sehingga pandangan yang berlebihan terhadap mahasiswa merupakan pandangan yang memang harus dibuktikan dengan penuh kehormatan. Tidak menjadi angan, bahkan cemoohan yang menyandarkan kepada posisi mahasiswa tadi.
Pemecahan Masalah
Dengan menganalisis kiprah dan peran mahasiswa dari aspek historis dan empirik yang paradoks dengan aspek normatif, mengesankan ada something wrong di balik fenomena tersebut.
Menurut pengamatan Hamid Basyaib, gerakan politik mahasiswa hanya menggugat isu sektoral yang hanya menghasilkan pemecahan yang tak bernilai! Padahal seharusnya menjadikan permasalahan utama menjadi burning issue yang diperjuangkan. Hal lain yang sering muncul adalah perbedaan persepsi mengenai kepentingan mana yang seharusnya dikedepankan. Tak jarang hal ini mengakibatkan perjuangan mahasiswa yang bergerak sendiri-sendiri, tidak adanya kesamaan gerak.
Maka tidak bisa ditawar-tawar lagi mahasiswa dalam konteks perjuangan politik haruslah memiliki konsepsi pemikiran (thought) yang jelas dan tegas, kemudian harus mendefinisikan metode (method) penerapan pemikirannya, bahkan mampu menjelaskan langkah-langkah yang cerdas dalam menjelaskan upaya meraih tujuan dalam konsepsi pemikirannya. Mahasiswa tersebut haruslah orang-orang yang tersadarkan, bukan hanya modal semangat dan keinginan emosional yang melandasi perjuangan politiknya, sehingga ikatan yang mereka bangun adalah ikatan yang mendasar, bukan hanya slogan dan perasaan emosional-temporal.
Sehingga dengan demikian harapan atas politik mahasiswa -mulai asumsi hingga aksi- adalah untuk menuju kepada kebangkitan, bukan malah memperburuk kondisi yang sudah ada. Oleh karena itu keberanian kita untuk berpikir lebih mendasar (berdasarkan ideologi), bukan atas ego, kepentingan, dan kemanfaatan belaka akan memberikan jaminan bahwa yang kita lakukan di masa ini bukan hanya menyelamatkan kita dan masa sekarang saja, namun untuk membentuk tatanan yang lebih terhormat demi kehidupan umat manusia. Semoga...
* Penulis adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Sejarah UPI, Ketua Divisi Kajian Strategis dan Propaganda Gerakan Mahasiswa (Gema) Pembebasan Wilayah Jawa Barat
Form Pendaftaran Anggota Gema Pembebasan
Ini adalah form pendaftaran secara online. Isilah form ini, jika Anda ingin jadi anggota Gema Pembebasan di Universitas Negeri Malang (UM). Bergabunglah bersama kami, wahai mahasiswa UM. Bersama kita tingkatkan kualitas dan kuantitas insan muslim yang sebenarnya.
Yahoo! News: World News
Media Indonesia
Voice of New Generation
Syariah
Wednesday, August 2, 2006
Politik Mahasiswa; Dari Asumsi Hingga Aksi (Mempertegas Kiprah Mahasiswa Dalam Pentas Politik)
Label:
Politik Mahasiswa
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment