Oleh: Bob Syahrial Ghozali*
Mungkin ada yang bilang terasa janggal ketika dalam tulisan ini dibicarakan masalah revolusi, apalagi di tengah arus demokrasi Indonesia yang mulai stabil. Diamond, Linz, dan Lipset menyebutkan bahwa suatu pemerintahan disebut demokratis apabila memiliki tiga komponen. Pertama, kompetisi antar kelompok tidak berdasarkan kekerasan atau tidak menggunakan kekerasan atau kekuatan. Kedua, partisipasi penuh dari warga negara dewasa dalam pemilihan umum untuk menempatkan diri pada jabatan-jabatan politik. Tidak boleh ada warga negara dewasa yang dimarjinalkan dalam proses pengangkatan maupun pemilihan tersebut. Ketiga, kebebasan warga dan kebebasan politik. Dari yang dikatakan Diamond dkk, maka saya melihat demokrasi di Indonesia mulai stabil, walaupun memang masih terjadi penyimpangan di beberapa sisi. Tetapi, pemilu 2004 menjadi sebuah fenomenal, ketika rakyat memilih secara langsung presiden dan wakil presidennya.
Dalam bukunya berjudul Tertib Politik di Tengah Pergeseran Kepentingan Masa, Samuel Huntington menjelaskan bahwa revolusi di berbagai negara berkembang sangat tergantung atas beberapa hal berikut.
1. Seberapa jauh kelompok-kelompok kelas menengah perkotaan, intelektual, professional, dan kaum borjuis terasing dari sistem yang ada.
2. Sejauh mana kaum tani pedesaan tersingkir dari sistem yang berlaku.
3. Sejauh mana kelompok-kelompok kelas menengah perkotaan dan kaum tani pedesaan bersatu tidak hanya untuk bertempur melawan “musuh yang sama”, tetapi juga bertempur melawan faktor penyebab yang sama. Faktor penyebab ini biasanya adalah nasionalisme.
Kebebasan yang diberikan oleh demokrasi memang memberikan angin segar bagi kelompok-kelompok para pengusung revolusi. Dengan mendirikan partai politik, maka aspirasi dapat tersampaikan. Kelompok-kelompok para pengusung revolusi atau disebut dengan revolusioner biasanya terdiri dari 3 kelompok, yaitu:
1. Organisasi kaum proletariat (buruh tani dan orang-orang awam)
2. Buruh industri.
3. Intelegensia kelas menengah
Dan, Gema Pembebasan masuk pada kelompok yang ketiga.
Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Gema Pembebasan muncullah berbagai gagasan pergerakan mahasiswa. Salah satu yang pantas untuk ditindaklanjuti adalah gagasan tentang revolusi terhadap kelas intelektual di Indonesia. Agaknya gagasan revolusi terhadap kelas intelektual di Indonesia tidak terlampau mustahil untuk dilaksanakan daripada gagasan revolusi sistemik yang pernah digaungkan oleh Gema Pembebasan. Gagasan ini sangat mungkin meledak jika semua komunitas Gema Pembebasan di seluruh Indonesia serius melakukannya. Secara infrastruktur dan suprastruktur pun komunitas tidak terlalu kesulitan untuk melakukannya daripada harus melakukan revolusi sistemik pada tingkat praktis. Evaluasi kita selama ini terhadap program revolusi sistemik bahwa gagasan tersebut barulah sampai pada tahap diskusi dan perjuangan memperebutkan opini semata. Saya pribadi berpendapat, sayangnya di tingkat perebutan opini itu pun kita belum berhasil dan memungkinkan tiba-tiba kita beralih isu. Perebutan opini tetap akan kita lakukan, namun dipandang perlu adanya revolusi intelektual sebagai bagian dari perebutan simpati masyarakat dan pendayagunaan potensi kekuatan strategis masyarakat. Karena individu dan instansi -sebagai bagian dari kelas intelektual- tersebut akan menjadi guru bagi masyarakat kita nantinya. Kita harus berfikir bahwa jawaban untuk melahirkan Indonesia yang lebih baik di masa depan adalah dengan mempersiapkan kader-kader yang berkualitas baik secara moral, intelektual, dan profesional. Karena itu, Gema Pembebasan harus ikut peduli dengan perbaikan-perbaikan ke arah terwujudnya Indonesia yang adil, sejahtera, dan lebih baik dari sebelumnya untuk menyongsong tegaknya syariat Islam dan institusi yang melindunginya.
Revolusi terhadap kelas intelektual di Indonesia sudah cukup mendesak untuk dilakukan. Revolusi semacam ini memang bersifat terbatas. Karena bersifat terbatas, ia tentu lebih mudah untuk dilakukan oleh komunitas terbatas semacam Gema Pembebasan. Dan ini hendaknya dipandang sebagai bagian dari sebuah tahapan perubahan radikal dan menyeluruh atas tatanan yang sedang berlaku.
Gagasan ini dipicu oleh kecaman Awalil Rizki—salah satu pembicara di LK-3 HMI MPO—terhadap kelas intelektual di Indonesia. Ditengarai bahwa kelas intelektual di Indonesia banyak yang menunjukkan karakter sales ketimbang karakter pejuang. Bersembunyi di balik mantel ilmiah, mereka banyak yang menjual jasanya untuk pihak pemesan meskipun mereka harus mengorbankan hati nurani dan keperihan penderitaan rakyat. “Sudah hampir tidak ada intelektual dengan karakter kuat semacam Hatta ataupun Sudjatmoko,” kata Awalil.
Di sinilah muncul gagasan perlunya revolusi terhadap kelas intelektual sales tersebut. Kelas intelektual sales tidak lahir dari ruang hampa. Mereka lahir dari lembaga-lembaga ilmiah dengan visi dan karakter sales semacam itu. Salah satu karakter dasar seorang sales adalah bertujuan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dengan menjual produk sebanyak-banyaknya. Apakah dengan metode bujuk rayu atau bohong-bohongan. Mudah-mudahan saja, kelas intelektual yang kita bicarakan ini belum mengadopsi karakter sales yang lainnya: target volume penjualan.
Bagaimana kita merevolusi mereka? Mereka ada di universitas-universitas yang kita belajar di sana. Mereka adalah penguasa-penguasa universitas kita. Mereka adalah dosen-dosen kita yang setiap saat bertemu di ruang kuliah. Mereka adalah teman-teman sekelas kita yang cerdas dan kutu buku. Mereka adalah teman satu kos kita yang kaya dan kritis. Bahkan mungkin mereka adalah rekan satu organisasi dengan kita yang mobile dalam bergerak dan bersemangat sekali dalam berdiskusi. Kita pasti berbenturan dengan dua pandangan dunia dan misi kehidupan yang berbeda. Kita tidak perlu menghindar dari perbenturan itu. Namun, arahkan kelebihan dan minatnya agar sesuai dengan syariat Islam, sebutkan potensinya untuk kebangkitan umat, dan tawarkan harakah Islam yang kan membebaskan umat.
Sepatutnya kita membicarakan isu revolusi terbatas (limited revolution) ini dan disampaikan dalam pertemuan Gema Pembebasan dengan level yang lebih luas. Biar sekalian kita membuat gegeran baru di jagat ilmiah Indonesia. Jagat ilmiah Indonesia perlu digegerkan, biar rakyat tahu mana ahli ilmu yang menolong mereka dan mana ahli ilmu yang memangsa mereka.
Kita tidak perlu meniru-niru JIMM yang hanya memproduksi wacana. Kita sudah jenuh dengan tumpukan makalah-makalah yang bagus, tetapi sulit dilaksanakan. Gus Dur pernah nyeletuk di sebuah seminar, “Di Indonesia, jika makalah-makalah seminar dikumpulkan, pasti berton-ton.” Sekarang masalahnya sudah jelas, maka programnya penting untuk disusun secara sistematis. Misalnya, kapan mematangkan konsep dan isu. Kapan menggulirkan isu dengan momentum yang tepat. Kapan mengeskalasi isu, dan kapan memenangkan opini.
Isu atau opini tidak hanya bisa dimunculkan melalui aksi massa. Perlu juga adanya ide pembukuan antologi 'intelektual' sebagai saksi sejarah. Karena ketika keberadaan suatu makhluk yang berjasa besar dalam sejarah kadang membutuhkan karya besar yang bernama tulisan dan buku. Kehilangan massa atau tidak mendapatkan simpati atas kerja keras Gema Pembebasan bisa jadi suatu saat akan terjadi. Maka, gegenitan itulah yang (mungkin) dirasa cukup untuk bisa menarik simpati massanya kedalam lingkar gerakan. Kalaupun menjadi nyata di kemudian hari Gema Pembebasan tidak mampu menarik kembali massanya, minimal Gema Pembebasan mampu menggunakan kegenitannya kedalam wadah ruang-ruang publik media dengan memasarkan ide-ide intelektualnya. Namun menurut saya, itupun belum cukup untuk menawarkan Gema Pembebasan ke hadapan publik, apalagi dengan kegenitannya itu. Karena ternyata masyarakat tidak hanya butuh kata-kata sakti bernama intelektual, tapi juga amal sakti berupa kepedulian dan kepekaan sosial. Benar atau tidak, masyarakat kita sudah jenuh dengan omong kosong yang bikin gerah dan lelah.
Kembali ke pokok masalah, jika sepakat dengan gagasan revolusi terbatas ini, maka yang menjadi catatan penting adalah bahwa kita perlu membuat satu desain matriks tentang kapasitas organisasi kita. Karena semuanya tergantung dengan capacity building. Cara-cara yang bisa dilakukan melalui tahapan:
1. Menggali akar masalah pengkaderan kita.
Mahasiswa adalah bagian integral dari masyarakat yang diharapkan menjadi ujung tombak perjuangan Islam. Mahasiswa sebagai agent of social change diharapkan memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap lingkungan sosial masyarakat terkhusus dalam komunitas masyarakat kampus. Oleh karena itu mahasiswa diharapkan memiliki peran yang maksimal dalam proses transformasi menuju tatanan masyarakat Islam dengan menjadikan Islam ideologi (mabda’) sebagai azas pergerakannya. Aplikasi perubahan yang diharapkan adalah terwujudnya suatu perubahan paradigmatik pola berfikir (tafkir), perasaan (masya’ir) dan sistem (‘adzima al-mujtama) ke arah yang lebih islami di bawah ridha Allah Swt.
Menyadari substansi mahasiswa Islam yang sangat dominan, diperlukan usaha secara sadar dan terus menerus dalam menyiapkan kader-kader atau aktivis mahasiswa dalam suatu sistem perkaderan yang terencana, terarah, terpadu, sistematis dan berkesinambungan. Dengan demikian diharapkan terbentuknya kader atau aktivis mahasiswa yang memiliki kompetensi intelektual dan spiritual (syakhsiyah islamiyah) yang handal serta memiliki sikap dan jiwa kepemimpinan yang visioner.
Ditinjau dari struktur sosial kemasyarakatan, mahasiswa dan kampus merupakan satu kesatuan sistem yang mempunyai peranan penting dalam perubahan sosial di tengah-tengah masyarakat, sedangkan dari potensi manusiawi, mahasiswa merupakan kelompok manusia yang mempunyai taraf berfikir di atas rata-rata sehingga posisinya sangat strategis dalam mengambil peran yang menentukan keadaan masyarakat di masa depan.
Perubahan masyarakat ke arah Islam terjadi apabila pemikiran Islam telah tertanam di masyarakat. Oleh karena itu tertanamnya pemikiran Islam di dalam kampus melalui dakwah Islam diharapkan mampu menyebar secara efektif di tengah-tengah masyarakat.
Gema Pembebasan sebagai bagian dari umat Islam berkepentingan agar proses islamisasi dapat berlangsung terus. Secara konseptual Gema Pembebasan berperan serta dalam membangun kebersamaan dalam tubuh umat Islam guna memperbesar dan mengencangkan gerak dakwah. Memperbesar gerak dakwah berarti Gema Pembebasan sebagai eksponen umat tampil melengkapi khazanah eksponen yang sudah ada dan turut menyuarakan aspirasi Islam. Mengembangkan gerak berarti Gema Pembebasan dalam kebersamaan itu bahu membahu dalam eksponen dakwah lain bekerja menyuarakan aspirasi Islam.
Kaderisasi merupakan proses pencetakan makhluk yang dinamai manusia menjadi manusia yang berfungsi di muka bumi. Jadi kalau tujuan kaderisasi hanya untuk memperbanyak massa sehingga sebuah pergerakan bisa menguasai suatu wilayah, betapa tidak relevannya eksistensi pergerakan tersebut di muka bumi. Yang perlu ditekankan sekarang adalah bahwa sebuah pergerakan berlabel Islam itu tanggung jawabnya besar. karena ideologi yang diusung tidaklah ringan. Oleh karena itu, proses ideologisasi yang dialami oleh para kadernya harus tuntas. Tauhid harus benar-benar dijadikan landasan setiap aksi yang dilancarkan.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa setiap Din, termasuk Islam, butuh kekuasaan agar bisa tertegak di muka bumi. Tapi penguasaan yang berusaha dilakukan oleh beberapa kalangan yang wajahnya berbeda tapi memiliki satu tujuan yang sama tidak boleh melanggar etika perjuangan yang digariskan oleh para pendahulunya. Kalau suatu saat Gema Pembebasan bisa menguasai kampus UM misalnya, jangan lupa bagi-bagi lahan dengan pergerakan yang lain! Proses pencetakan manusia-manusia kampus yang berideologi Islam bisa dilakukan bersama-sama. Ini realistis asalkan sebelumnya masing-masing lembaga sadar dan memahami ideologi Islam yang mereka perjuangkan itu seperti apa. Ada satu standard baku yang harus dijadikan pegangan. Kerjasama ini perlu dilakukan agar masing-masing lembaga tidak menjadi raksasa-raksasa berkaki lempung yang saling menjatuhkan, walaupun tanpa dijatuhkan pun niscaya akan jatuh sendiri.
2. Membuat logic frame sebagai panduan aktivitas kita.
Berikut ini adalah logic frame yang dapat digunakan oleh Gema Pembebasan.
Prinsip Dasar Berhukum dengan hukum Allah itu hukumnya wajib. Dan menyelenggarakan negara dengan dengan sistem Al-Quran Al-Kariem dan As-Sunnah An-Nabawiyah juga wajib. Dan hak untuk menentukan hukum dan undang-undang adalah kewenangan Allah SWT semata, bukan kewenangan manusia. Tidak ada yang menentang doktrin ini dari kalangan aktifs dakwah. Semua sepakat akan hal itu. Masyarakat yang Tidak Ideal Tinggal masalahnya adalah kondisi realitas umat Islam yang berada di dalam penjara dan penjajahan musuh. Kondisi ini nyaris memustahilkan umat Islam untuk memiliki negara sendiri dan tentunya pemerintahan sendiri dengan berdasarkan Al-Quran Al-Kariem dan As-Sunnah An-Nabawiyah.
Ini adalah kondisi yang teramat tidak ideal akibat hilangnya Khilafah Islam di muka bumi. Dan upaya mengembalikan Khilafah adalah hal yang mutlak. Mengingat umat Islam hidup selalu dalam kekuasaan orang kafir. Tiga Pilihan Untuk Umat Maka umat Islam dihadapkan kepada tiga pilihan. Pertama segera membangun Khilafah. Kedua menerima apa yang terjadi dengan pasrah diatur-atur oleh penguasa jahiliyah. Ketiga, melakukan upaya membangun Khilafah sambil berusaha terus menegakkan syariat Islam meski di bawah tekanan.
- Membangun Khilafah secara langsung
Ada orang yang memilih sesuatu yang ideal seperti yang pertama. Cita-citanya mulia sekali yaitu ingin membangun Khilafah. Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan ide ini.
Hanya saja kenyataan di lapangan telah membuat kita tahu bahwa membangun Khilafah itu tidak bisa diukur dengan usia seseorang. Sebab jangankan Khilafah, sekedar sebuah kampus, kabupaten atau propinsi kecil yang bersyariat Islam saja masih belum sepenuhnya terwujud. Sementara itu mereka tetap makan hati diinjak-injak oleh musuh dalam kehidupannya. Dan juga harus rela diatur dengan hukum bukan Islam. Dan umat Islam kemungkinan harus menunggu puluhan tahun untuk terwujudnya hal itu.
Harus ada upaya lain dari sebuah pergerakan Islam yang tidak hanya berupa perebutan opini di kampus dan masyarakat. Namun, usaha nyata untuk menegakkan Khilafah Islam.
- Pasrah Saja
Di sisi lain, ada umat Islam yang diam pasrah tidak berbuat apa-apa karena dalam benaknya mendirikan Khilafah itu mustahil. Maka mereka pun merasa sudah cukup mejadi orang Islam secara ritual ubudiyah dan membiarkan hukum yang berlaku di negerinya diatur oleh hukum bukan Islam.
Kelompok ini memang sejak awal tidak punya niat sedikit pun untuk membangunnya, bahkan banyak juga yang sudah sampai kepada penentangan.
- Berusaha dan bekerja secara realistis
Tinggal posisi yang ketiga. Mereka punya keinginan ideal untuk mendirikan Khilafah, tetapi sembari menuju ke arah sana dengan membina, mengkader, menyusun kekuatan, membangun struktur jaringan umat dan seterusnya, mereka juga mulai mengadakan proyek dan prototipe Khilafah meski dalam skala yang masih kecil.
Sebab kemenangan dari Allah SWT harus dibuktikan dengan kerja keras dan memperbanyak kader dan simpatisan. Bahwa ada kader dan simpatisan yang belum ideal dan masih ada cacat dan cela di sana sini, memang itu bagian dari proses islamisasi mereka.
Sebab kader dan simpatisan tidak bisa tiba-tiba turun dari langit dan muncul begitu saja. Mereka harus diprogram, disiapkan, diasuh, dibina, diarahkan, dimotivasi dan diberikan pelajaran dengan cara yang hikmah dan bijaksana. Semakin besar jumlah kader, maka semakin kuat pondasi Khilafah. Mereka ini akan melakukan penetrasi kepada kekuatan non Islam di setiap tempat, di dunia kerja, di lembaga pendidikan, di eksekutif mahasiswa, legislatif mahasiswa, dan lain sebagainya.
3. Mendesain manajemen perencanaan organisasi yang baik dan sistematis.
Jelasnya kita tidak ingin mendapatkan pengalaman yang sama seperti halnya HMI. Terlebih pada masa pasca reformasi, HMI seakan kehilangan arah geraknya sehingga banyak sekali tempat-tempat basis massa di universitas-universitas bergengsi segera bisa direbut dengan mudah oleh teman-teman kita dari kalangan KAMMI. Sebagaimana terlihat di UI, ITB, UGM, IPB, dan lain sebagainya, bisa dengan mudah dikuasai oleh mereka dengan sangat mudah dan cepat. Adik kecil itu telah membuat kakaknya iri. Adik kecil yang baru lahir belum sampai pada hitungan sepuluh tahun ini dan jauh sangat muda dibanding HMI. Menyadari pengalaman ini, saya rasa Gema Pembebasan harus segera membuat arah gerakan dan strategi menyerang semua basis-basis dan universitas yang saat ini belum diduduki Gema Pembebasan. Selama ini, di forum-forum pelatihan seperti TP 1, TP 2, dan lain sebagainya belum sama sekali disentuhkan pada pelatihan penajaman strategi kader dalam merebut “wilayah kekuasaan”. Karena itu saya rasa ini harus segera kita rumuskan menjadi salah satu pedoman dengan nama “pedoman ekspansi”. Semuanya harus dijiwai betul oleh kader agar semakin agresif dan militan!
Bukti sebuah kampus “dikuasai” oleh sebuah organisasi adalah dengan dikuasainya lembaga intra kampusnya. Itulah mengapa BEM UI atau BEM Jabotabek setiap kali aksi selalu identik dengan aksi KAMMI, terbukti dengan akhwatnya yang mayoritas “jilbaber” dan gerakannya. Sekarang mari kita bertanya, sudah berapa kampuskah yang berhasil “diduduki” Gema Pembebasan?
Di sinilah kita mesti jujur, jangan sampai kita hanyalah kumpulan dari para pecundang yang selalu berkhayal menang. Agar tidak selalu begitu, kita harus punya keberanian “menguliti” diri agar Gema Pembebasan tidak kehilangan relevansinya dan termarjinalkan atau tergusur dari peta gerakan mahasiswa. Naudzubillah!
4. Melakukan aktivitas nyata.
Kekhawatiran saya, setiap generasi Gema Pembebasan tidak mampu membaca dirinya, sehingga yang muncul adalah tindakan reaktif dan tidak terarah, ujung-ujungnya setiap generasi hanya mengulang aktivitas yang sudah pernah dilakukan. Alhasil diskursus intelectual meeting (IM) perlu mengagendakan pembicaraan konsepsional tentang desain matriks Gema Pembebasan ini. Dengan beragam latar belakang, forum IM akan mampu menjembatani kegelisahan setiap kader di seluruh Indonesia.
Hal ini dilakukan karena pada dasarnya organisasi itu dinamis artinya ada pergerakan yang progress, bukan stagnan atau mundur ke belakang, minimal dengan mengagendakan desain matriks ini Gema Pembebasan ke depan mampu mewariskan infrastuktur yang baru dan inovatif.
Konsepnya sederhana, ada masukan dari setiap daerah atau wilayah untuk menggagas manajemen perencanaan Gema Pembebasan selama dua atau tiga periode. Ini bukan GBHO yang dulu pernah ada tetapi lebih kepada konteks manajerial kelembagaan dan mungkin hasilnya nanti include dengan Program Kerja Nasional (PKN).
Panitia kongres atau konferensi atau lokakarya hendaknya menghadirkan fasilitator atau alumni yang memiliki gagasan konsepsional tentang analisis kelembagaan, saya kira tidak sulit. Kalau nanti di forum IM kita terjebak kedalam perdebatan tentang wacana apa yang baik untuk Gema Pembebasan itu akan memakan waktu yang panjang dan hasilnya saya pikir kurang strategis.
Demikian tulisan ini. Sebagai penutup, Gema Pembebasan sebagai sebuah pergerakan mahasiswa yang akan membebaskan umat dari jaman kejahiliyahan menuju jaman kecemerlangan Islam, hendaknya mencoba merenungkan dua kredo berikut.
- Kami adalah ilmuwan yang tajam analisisnya, pemuda yang kritis terhadap kebatilan, politisi yang piawai mengalahkan muslihat musuh dan yang piawai dalam memperjuangkan kepentingan umat. Kami adalah seorang pejuang di siang hari dan rahib di malam hari, pemimpin yang bermoral, teguh pada prinsip dan mampu mentransformasikan masyarakat, guru yang mampu memberikan kepahaman dan teladan, sahabat yang tulus dan penuh kasih sayang, relawan yang mampu memecahkan masalah sosial, warga yang ramah kepada masyarakatnya dan responsif terhadap masalah mereka, manajer yang efektif dan efisien, prajurit yang gagah berani dan pintar bersiasat, prajurit, diplomat yang terampil berdialog, piawai berwacana, luas pergaulannya dan banyak teman, percaya diri yang tinggi, dan semangat yang berkobar tinggi.
- Kami adalah orang-orang yang berpikir dan berkendak merdeka. Tidak ada satupun yang bisa memaksa kami bertindak, kecuali dengan pertimbangan dan pendapat syariat Islam. Kami hanya bertindak atas dasar pemahaman, bukan taklid, serta atas dasar keikhlasan, bukan mencari pujian atau kedudukan.
Kalaupun GEMA Pembebasan di masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangannya begitu lemah dan kecil pengaruhnya, maka saat ini alangkah lebih baiknya kita coba memformat GEMA Pembebasan sebagai organisasi yang mungil, nyaman, dan indah- yang siapapun akan tertarik untuk berjalan dan tinggal bersamanya. Sehingga organisasi ini bisa survive dalam menjalani kehidupan.
Semoga bermanfaat untuk kejayaan Islam, kemajuan pergerakan mahasiswa Islam dan kekuatan GEMA Pembebasan dalam membebaskan umat Islam. Amiin.
Saatnya bangkit!
[Disarikan dari berbagai sumber]
* Ketua Divisi Riset Strategi Gerakan dan Hubungan Eksternal
GEMA Pembebasan Komisariat Universitas Negeri Malang
Periode 2006
Form Pendaftaran Anggota Gema Pembebasan
Ini adalah form pendaftaran secara online. Isilah form ini, jika Anda ingin jadi anggota Gema Pembebasan di Universitas Negeri Malang (UM). Bergabunglah bersama kami, wahai mahasiswa UM. Bersama kita tingkatkan kualitas dan kuantitas insan muslim yang sebenarnya.
Yahoo! News: World News
Media Indonesia
Voice of New Generation
Syariah
Thursday, October 5, 2006
MEMBENTUK GEMA PEMBEBASAN YANG CERDAS, KUAT, DAN MAMPU MENJAWAB PERSOALAN UMAT
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment