Oleh : Agung Wisnuwardana (Penggagas Gema Pembebasan)
Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie. Kondisi ini dilatarbelakangi krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu. Akhirnya hal ini menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian menyusul kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir di seluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Sembilan tahun sudah umur reformasi, tetapi rasanya tidak ada perubahan signifikan di negeri ini. Kesempatan untuk mencari pekerjaan semakin sulit, angka kemiskinan semakin meningkat, biaya pendidikan semakin mahal, penjajahan asing semakin mencengkeram, budaya KKN sebagai rahasia umum yang semakin “enak” untuk ditonton, dekonstruksi moral bangsa semakin mendapatkan legitimasi dan masih banyak racun-racun sosial lainnya yang semakin meluas. Tepat rasanya ungkapan beberapa kalangan bahwa ”reformasi telah mati”. Reformasi tinggal slogan tanpa kekuatan.
Akar Kegagalan Reformasi
Kegagalan reformasi sepantasnya mendapat perhatian serius dan analisis yang mendalam. Ada tiga hal pokok penyebab gagalnya reformasi.
Pertama, kurangtepatnya perumusan akar masalah dan solusi krisis bangsa. Para aktivis gerakan perubahan, termasuk gerakan mahasiswa sebagai garda terdepan, menilai akar masalah dari segala krisis bangsa adalah bobroknya perangkat penunjang sistem, antara lain penegakan hukum yang lemah, budaya KKN dan lemahnya demokratisasi. Dari sini, dimunculkan solusi dengan enam visi reformasi dalam menuntaskan tiga masalah tadi. Jika ditelusuri lebih mendalam, ketiga hal tadi bukanlah akar masalah. Krisis 1997 di Indonesia dipicu oleh adanya gerakan boyong dolar ke luar negeri yang akhirnya menyebabkan kegoncangan luar biasa pada makro ekonomi Indonesia. Sedangkan rupiah berposisi sebagai mata uang yang lemah dan tidak memiliki nilai intrinsik, sehingga sangat mudah terguncang oleh faktor ekonomi maupun politik. Disamping itu, sektor non-riil (finansial) di Indonesia lebih dominan dibandingkan sektor riil, padahal yang dapat mensejahterakan rakyat adalah sektor riil. Pemerintah lalu menyelesaikan krisis ini dengan utang luar negeri dan privatisasi aset-aset publik yang memunculkan krisis berulang. Walaupun saat ini makro ekonomi kita dinilai membaik, fakta sebenarnya hanyalah perbaikan semu. Hal ini terjadi karena derasnya hot money yang masuk dalam pasar uang (sektor non-riil) yang hanya menunjukkan pertumbuhan sesaat, namun sewaktu-waktu dapat memunculkan krisis serupa tahun 1997. Persoalan ini adalah ciri khas diterapkannya sistem politik ekonomi neo-liberalis. Neo-liberalis sebagai sistem politik ekonomi yang mendominasi dunia saat ini, telah diintervensikan oleh negara Barat Kapitalis ke berbagai negara dunia ketiga termasuk Indonesia dengan slogan ”indah” globalisasi. Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa akar masalah krisis di Indonesia adalah penerapan sistem ekonomi politik yang salah, yang telah menghancurkan ”negeri kaya” ini. Sistem ekonomi politik ini sangat terkait erat dengan penerapan sistem ideologi negara neo-liberalis kapitalis yang diterapkan oleh negara ini. Konklusinya, solusi yang tepat adalah tidak sekedar menata ulang sistem (reformasi), tetapi kita harus jujur, ikhlas dan berani untuk mengubah total sistem kenegaraan di negeri ini dan menggantinya dengan sistem yang baru.
Kedua, lemahnya kesadaran berpikir politis mahasiswa. Sejak 1998 sampai sekarang, aksi-aksi mahasiswa cenderung hanya mengikuti tren. Berbagai aksi muncul sekedar respon yang spontanitas (reaksioner) tentang berbagai isu yang sedang populer di masyarakat. Saat isu tidak lagi banyak diperbincangkan masyarakat –karena termakan waktu walaupun belum selesai masalahnya-, maka pudar pulalah suara lantang mahasiswa. Wajarlah kemudian kalau gerakan mahasiswa ini sering dimanfaatkan sebagai alat permainan isu dan manajemen konflik oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Hal ini terjadi karena lemahnya budaya berpikir politis mahasiswa dalam menganalisis berbagai masalah dan solusi sehingga gerakan mahasiswa lebih terkesan reaksioner dibandingkan gerakan yang intelek, analitis dan politis. Ditambah lagi media massa lebih cenderung mempublikasikan aksi-aksi mahasiwa yang anarkis sehingga memunculkan citra buruk gerakan mahasiswa.
Ketiga, ikatan dan sinergi antar organ gerakan perubahan yang lemah dan hanya bersifat kepentingan sesaat dan emosional. Menjadi rahasia umum, sehari pasca runtuhnya Soeharto, gerakan mahasiswa mengalami pecah. Perpecahan ini dipicu oleh perbedaan kepentingan dan kemanfaatan jangka pendek, terutama terkait dengan tokoh yang akan didukung dalam memimpin masa transisi menuju arah reformasi yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena ketidaksamaan pola pikir dan visi perjuangan. Oleh karena itu, model gerakan yang akan melakukan perubahan sistem, bukan sekedar gerakan kepentingan politik jangka pendek, tetapi dibutuhkan gerakan yang memiliki kesamaan pemikiran dan visi perjuangan tentang arah perubahan. Tanpa hal ini, solusi yang diberikan hanyalah temporer dan kekuatan gerakan menjadi lemah dan hanya berumur singkat. Untuk itu, diperlukan upaya terus-menerus dan intensif dalam menyatukan pemikiran dan visi perjuangan mahasiswa sehingga terwujud kesatuan kesadaran dan opini umum.
Reorientasi Arah Perjuangan
Pasca runtuhnya sosialisme dunia, Barat sebagai representatif liberalisme dunia berposisi sebagai penguasa dunia dan menempatkan Islam sebagai lawannya. Hal ini setidaknya dapat dimengerti dari ungkapan Samuel P. Huntington dalam bukunya Who Are We? (2004) bahwa Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS. Dalam buku yang lain yaitu The Clash of Civilization (1996), Huntington menulis, “Bagi Barat, yang menjadi musuh utama bukanlah fundamentalisme Islam, tapi Islam itu sendiri”. Analisis ini diperkuat oleh Willi Claes, mantan Sekjen NATO dengan pernyataannya, “Muslim fundamentalis setidak-tidaknya sama bahayanya dengan Komunisme pada masa lalu. Harap jangan menganggap enteng risiko ini.... Itu adalah ancaman yang serius karena memunculkan terorisme, fanatisme agama, serta eksploitasi terhadap keadilan sosial dan ekonomi".
Penulis telah menganalisis bahwa akar masalah berbagai krisis bangsa ini adalah penerapan sistem kenegaraan yang neo-liberalis kapitalis dan diperlukan adanya perubahan sistem yang lebih solutif dan alternatif. Jika kita kaitkan dengan berbagai analisis tokoh-tokoh Barat di atas, sepantasnya kita tidak malu dan tabu untuk bicara tentang Islam sebagai solusi alternatif pengganti sistem neo-liberalis kapitalis penyebab krisis bangsa. Perlu ada kerelaan hati tanpa ego untuk mencoba mempelajari Islam sebagai sebuah ideologi dengan sistem kehidupannya yang sempurna, bukan sekedar agama yang mengajarkan nilai-nilai ritual dan kebaikan. Islam pun harus ditempatkan tidak sekedar pada ranah privat tetapi juga publik. Semaraknya penerapan sistem ekonomi syariah (walaupun belum seluruhnya syar’i) saat ini, sepantasnya menjadi salah satu bukti bahwa Islam memiliki konsep ekonomi. Demikian juga Islam memiliki konsep pemerintahan, politik, sosial, pendidikan, peradilan dan aspek kehidupan manusia lainnya dalam berbangsa dan bermasyarakat.
Oleh karena itu, arah perubahan sosial yang seharusnya diperjuangkan pun tidak perlu malu untuk menggaungkan penerapan syariat Islam secara sempurna dengan tegaknya institusi kenegaraan yang memayunginya. Semangat dan visi perjuangan inilah yang seharusnya menjadi ciri khas gerakan mahasiswa sebagai garda terdepan perubahan. Langkah praktis yang penulis tawarkan adalah pertama, secepatnya untuk mempelajari Islam dalam kerangka ideologi sebagai solusi krisis bangsa; kedua, melakukan serangkaian diskusi tertutup maupun publik dengan berbagai kalangan sebagai cikal bakal jaringan; ketiga, pembangunan jaringan aksi yang solid-sinergis dengan pemikiran dan visi perjuangan berdasarkan ideologi Islam menuju perubahan yang sistemik dan revolusioner. Semoga terwujud di tahun 2009, Insya Allah.
No comments:
Post a Comment